Kamis, 13 Januari 2011

Analisis Novel "Ketika Cinta Bertasbih"

1. Pendekatan Strukturalisme

Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan (Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17). Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis, sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17). Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6). Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur- unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).

Menurut strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan (penelitian) kesusastraan yang menekankan kajian hubungan antara unsur-unsur strukturalisme karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur atau unsur intrinsik yang bersangkutan. Pertama kali harus diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa,plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah Nurgiyantoro (2007: 36-37), pendekatan pembangun karya yang bersangkutan. Analisis struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi dilakukan dengan cara mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.

2. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-Pendekatan Strukturalisme Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan(Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-

17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra

prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur

karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan

padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan

unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan

irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17).

Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada

di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang

diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas

keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis,

sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17).

Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural

adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra

merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai

satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang

saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6).

Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang

dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang

lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik

yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur-

unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas

dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam

keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).

Menurut

strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan

(penelitian) kesusastraan yang menekankan kajian hubungan antara

unsur-unsur

strukturalisme karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,

mengkaji, mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur atau

unsur intrinsik yang bersangkutan. Pertama kali harus diidentifikasikan

dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa,

plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah

Nurgiyantoro

(2007:

36-37),

pendekatan

pembangun

karya

yang

bersangkutan.

Analisis

struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan

pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari

serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah

sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan

menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan

bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur

akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula.

Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi dilakukan

dengan cara mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan

fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.

Unsur-unsur struktural fiksi atau novel menurut Nurgiyantoro

(2007: 68-87) adalah seperti berikut.

a. Tema

Tema menurut Nurgiyantoro (2007: 70) dapat dipandang

sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah novel. Gagasan dasar

umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh

pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.

Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema merupakan

aspek cerita yang sejajar dengan “makna” dalam pengalaman manusia;

sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman diangkat.

Stanton (2007: 45) berpendapat bahwa ada beberapa kriteria

untuk mengidentifikasi tema antara lain:

1) Penafsiran yang cukup, harus memiliki tanggung jawab untuk

masing-masing hal (seluk beluk) yang disampaikan dengan jelas

di dalam cerita.

2) Penafsiran yang cukup, tidak boleh bertentangan dengan apa saja

(seluk beluk) dalam sebuah cerita.

3) Sebuah penafsiran tidak boleh berhenti pada bukti yang tidak jelas

dan tidak tersiratkan dalam sebuah cerita.

4) Penafsiran harus ditangkap secara langsung dari cerita.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema

merupakan sebuah ide pokok atau gagasan dasar dalam sebuah cerita.

b. Alur

Nurgiyantoro (2007: 110) mengemukakan bahwa alur adalah

unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang

menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi

lain.

mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,

namun setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,

peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa

yang lain.

Stanton (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah

rangkaian-rangkaian dalan sebuah cerita.

Tahapan dalam plot atau alur oleh Tasrif (dalam Nurgiyantoro,

2007: 149-150) dapat dibagi menjadi lima tahapan. Tahapan-tahapan

plot tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Stanton

(dalam

Nurgiyantoro,

2007:

113)

juga

1) Tahap Penyituasian (situation)

Tahap ini berisi penulisan dan pengenalan situasi latar atau

tokoh-tokoh. Berfungsi untuk melandastumpui cerita yang

dikisahkan pada tahap berikutnya.

2) Tahap Pemunculan Konflik (Generating circumstances)

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik,

konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan

menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

3) Tahap Peningkatan Konflik (Ricing Action)

Tahap ini merupakan tahap di mana peristiwa-peristiwa

dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan

menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal,

ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan

antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks

tidak dapat dihindari.

4) Tahap Klimaks (climaks)

Konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang

dilalui atau ditimpakan pada tokoh cerita mencapai intensitas

puncak.

5) Tahap Penyelesaian (denouement)

Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian,

ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub

konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada diberi jalan keluar,

cerita diakhiri.

Nurgiyantoro (2007: 153-155) membedakan alur berdasarkan

urutan waktu menjadi tiga jenis seperti berikut:

1) Plot Lurus, Maju, atau Progresif

Plot sebuah novel dikatakan lurus, maju, atau progresif jika

peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa

kemudian.

2) Plot Mundur, Sorot Balik atau Flash Back, Regresif

Plot mundur, sorot balik, progresif adalah cerita yang

langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barang kali

konflik yang telah meruncing. Pembaca belum mengetahui situasi

dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan

pertentangan dalam cerita tersebut.

3) Plot Campuran

Plot campuran merupakan cerita yang di dalamnya tidak

hanya mengandung plot progresif tetapi juga sering terdapat

adegan-adegan sorot balik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan

jalinan urutan peristiwa yang membentuk sebuah cerita sehingga

mudah dipahami oleh pembaca.

c. Penokohan

Tokoh

Nurgiyantoro, 2007: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam

suatu karya sastra naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan

memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa

atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman dalam

Sugihastuti dan Suharto, 2005: 50).

Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan

unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas. Namun perlu dicatat

penokohan merupakan unsur yang penting dalam fiksi. Ia merupakan

salah satu fakta cerita di samping kedua fakta cerita yang lain

(Nurgiyantoro, 2007: 172).

Stanton (2007:33) mengemukakan bahwa karakter biasanya

dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada

individu-individu yang muncul dalam cerita sepertiketika ada orang

yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?”. Konteks

kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan,

keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.

Menurut Nurgiyantoro (2007: 176) tokoh-tokoh cerita dalam

sebuah fiksi dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan

dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut

cerita

(character),

menurut

Abrams

(dalam

pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam

beberapa jenis penamaan berikut:

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh

utama

adalah

tokoh

yang

diutamakan

penceritaannya dalam novel yang bersangkutan ia merupakan

tokoh yang paling diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian

maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh

yang perannya dalam cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan

kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,

baik langsung maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2007: 176-

177).

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang

salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang

merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal

bagi kita (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2007: 178).

Sebuah fiksi harus mengandung konflikdan ketegangan yang

dialami oleh tokoh protagonis. Penyebab terjadinya konflik disebut

tokoh protagonis (Nurgiyantoro, 2007: 179).

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh

yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak

yang tertentu saja, sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang

memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,

sisi kepribadian dan jati dirinya (Nurgiyantoro, 2007: 181-183).

4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak

mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai

akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh statis

memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang

sejak awal sampai akhir. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita

yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan

dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan

(Nurgiyantoro, 2007: 188).

5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi

cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang

hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir atau

dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah yang

sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.

Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat

dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, tafsiran,

pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Tanggapan itu

mungkin bernada negatif seperti terlihat dalam karya yang bersifat

menyindir, mengkritik, bahkan mungkin mengencam, karikatural

atau setengah karikatural. Namun, sebaliknya iamungkin juga

bernada positif seperti yang terasa dalam nada memuji-muji

(Nurgiyantoro, 2007: 191).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah

orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (pelaku cerita).

d. Latar atau setting

Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran

pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam

Nurgiyantoro, 2007: 216).

Latar adalah segala keterangan, petunjuk,atau pengacuan yang

berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam

suatu karya sastra (Sudjiman dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005:

Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar (setting) adalah

lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta

yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.

Nurgiyantoro (2007: 227) mengemukakan bahwa unsur latar

dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan

1) Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

2) Latar waktu, berhubungan dengan masalah ‟kapan‟ terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

3) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar itu terbagi

menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

e. Sudut pandang

Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa sudut pandang

adalah posisi tokoh dalan cerita.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 248), sudut

pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan

pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan

berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi

kepada pembaca.

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,

siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan

dan ceritanya (Nurgiyantoro, 2007: 248).

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pandang

mengemukakan gagasan dan ceritanya.

merupakan

cara

pandang

pengarang

dalam