1. Pendekatan Strukturalisme
Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan (Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17). Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis, sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17). Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6). Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur- unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).
Menurut strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan (penelitian) kesusastraan yang menekankan kajian hubungan antara unsur-unsur strukturalisme karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur atau unsur intrinsik yang bersangkutan. Pertama kali harus diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa,plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah Nurgiyantoro (2007: 36-37), pendekatan pembangun karya yang bersangkutan. Analisis struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi dilakukan dengan cara mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.
2. Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-Pendekatan Strukturalisme Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan(Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-
17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra
prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur
karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan
padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan
unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan
irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17).
Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada
di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang
diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas
keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis,
sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17).
Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural
adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra
merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai
satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang
saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6).
Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang
dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang
lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik
yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur-
unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam
keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).
Menurut
strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan
(penelitian) kesusastraan yang menekankan kajian hubungan antara
unsur-unsur
strukturalisme karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji, mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur atau
unsur intrinsik yang bersangkutan. Pertama kali harus diidentifikasikan
dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa,
plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah
Nurgiyantoro
(2007:
36-37),
pendekatan
pembangun
karya
yang
bersangkutan.
Analisis
struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan
pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari
serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah
sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan
menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur
akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula.
Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi dilakukan
dengan cara mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan
fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.
Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan (Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17). Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis, sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17). Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6). Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur- unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).
Menurut strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan (penelitian) kesusastraan yang menekankan kajian hubungan antara unsur-unsur strukturalisme karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur atau unsur intrinsik yang bersangkutan. Pertama kali harus diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa,plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah Nurgiyantoro (2007: 36-37), pendekatan pembangun karya yang bersangkutan. Analisis struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi dilakukan dengan cara mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.
2. Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-Pendekatan Strukturalisme Pendekatan struktural di bidang bahasa yang dikemukakan(Saussure dalam Suryabrata, 2004: 15) dapat diterapkan dan dijadikan model untuk pedekatan ilmu-ilmu lain. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw dalam Suryabrata, 2004: 16-
17). Unsur-unsur karya yang dimaksud dapat saja berupa karya sastra
prosa, puisi, dan sebagainya, baik lisan maupun tulis. Unsur-unsur
karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan
padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa, sedangkan
unsur-unsur karya sastra puisi meliputi tema, daya bayang, rima dan
irama (Suharianto dalam Suryabrata, 2004: 17).
Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada
di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang
diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas
keterkaitan dan keterjalinan antara beberapa tataran fonik, morfologis,
sintaksis dan semantik (Teeuw dalam Suryabrata , 2004: 17).
Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural
adalah anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra
merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai
satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang
saling berjalinan (Pradopo, 2002: 6).
Analisis struktural merupakan cara kerja pertama yang
dilakukan dalam penelitian sastra sebelum diterapkannya analisis yang
lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna instrinsik
yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Unsur-
unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur-unsur instrinsik dalam
keseluruhan karya sastra (Teew dalam Suryabrata , 2004: 16).
Menurut
strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan
(penelitian) kesusastraan yang menekankan kajian hubungan antara
unsur-unsur
strukturalisme karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji, mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur atau
unsur intrinsik yang bersangkutan. Pertama kali harus diidentifikasikan
dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa,
plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah
Nurgiyantoro
(2007:
36-37),
pendekatan
pembangun
karya
yang
bersangkutan.
Analisis
struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan
pengaturan diri. Totalitas yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari
serangkaian unsur tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah
sistem itu sendiri. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan
menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur
akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula.
Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi dilakukan
dengan cara mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan
fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.
Unsur-unsur struktural fiksi atau novel menurut Nurgiyantoro
(2007: 68-87) adalah seperti berikut.
a. Tema
Tema menurut Nurgiyantoro (2007: 70) dapat dipandang
sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah novel. Gagasan dasar
umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh
pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.
Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema merupakan
aspek cerita yang sejajar dengan “makna” dalam pengalaman manusia;
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman diangkat.
Stanton (2007: 45) berpendapat bahwa ada beberapa kriteria
untuk mengidentifikasi tema antara lain:
1) Penafsiran yang cukup, harus memiliki tanggung jawab untuk
masing-masing hal (seluk beluk) yang disampaikan dengan jelas
di dalam cerita.
2) Penafsiran yang cukup, tidak boleh bertentangan dengan apa saja
(seluk beluk) dalam sebuah cerita.
3) Sebuah penafsiran tidak boleh berhenti pada bukti yang tidak jelas
dan tidak tersiratkan dalam sebuah cerita.
4) Penafsiran harus ditangkap secara langsung dari cerita.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
merupakan sebuah ide pokok atau gagasan dasar dalam sebuah cerita.
b. Alur
Nurgiyantoro (2007: 110) mengemukakan bahwa alur adalah
unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi
lain.
mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,
namun setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
yang lain.
Stanton (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah
rangkaian-rangkaian dalan sebuah cerita.
Tahapan dalam plot atau alur oleh Tasrif (dalam Nurgiyantoro,
2007: 149-150) dapat dibagi menjadi lima tahapan. Tahapan-tahapan
plot tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Stanton
(dalam
Nurgiyantoro,
2007:
113)
juga
1) Tahap Penyituasian (situation)
Tahap ini berisi penulisan dan pengenalan situasi latar atau
tokoh-tokoh. Berfungsi untuk melandastumpui cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.
2) Tahap Pemunculan Konflik (Generating circumstances)
Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik,
konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan
menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
3) Tahap Peningkatan Konflik (Ricing Action)
Tahap ini merupakan tahap di mana peristiwa-peristiwa
dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal,
ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan
antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks
tidak dapat dihindari.
4) Tahap Klimaks (climaks)
Konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang
dilalui atau ditimpakan pada tokoh cerita mencapai intensitas
puncak.
5) Tahap Penyelesaian (denouement)
Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian,
ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub
konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada diberi jalan keluar,
cerita diakhiri.
Nurgiyantoro (2007: 153-155) membedakan alur berdasarkan
urutan waktu menjadi tiga jenis seperti berikut:
1) Plot Lurus, Maju, atau Progresif
Plot sebuah novel dikatakan lurus, maju, atau progresif jika
peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa
kemudian.
2) Plot Mundur, Sorot Balik atau Flash Back, Regresif
Plot mundur, sorot balik, progresif adalah cerita yang
langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barang kali
konflik yang telah meruncing. Pembaca belum mengetahui situasi
dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan
pertentangan dalam cerita tersebut.
3) Plot Campuran
Plot campuran merupakan cerita yang di dalamnya tidak
hanya mengandung plot progresif tetapi juga sering terdapat
adegan-adegan sorot balik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan
jalinan urutan peristiwa yang membentuk sebuah cerita sehingga
mudah dipahami oleh pembaca.
c. Penokohan
Tokoh
Nurgiyantoro, 2007: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya sastra naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman dalam
Sugihastuti dan Suharto, 2005: 50).
Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan
unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas. Namun perlu dicatat
penokohan merupakan unsur yang penting dalam fiksi. Ia merupakan
salah satu fakta cerita di samping kedua fakta cerita yang lain
(Nurgiyantoro, 2007: 172).
Stanton (2007:33) mengemukakan bahwa karakter biasanya
dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada
individu-individu yang muncul dalam cerita sepertiketika ada orang
yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?”. Konteks
kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan,
keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 176) tokoh-tokoh cerita dalam
sebuah fiksi dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan
dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut
cerita
(character),
menurut
Abrams
(dalam
pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam
beberapa jenis penamaan berikut:
1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh
utama
adalah
tokoh
yang
diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan ia merupakan
tokoh yang paling diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh
yang perannya dalam cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,
baik langsung maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2007: 176-
177).
2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang
salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal
bagi kita (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2007: 178).
Sebuah fiksi harus mengandung konflikdan ketegangan yang
dialami oleh tokoh protagonis. Penyebab terjadinya konflik disebut
tokoh protagonis (Nurgiyantoro, 2007: 179).
3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh
yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak
yang tertentu saja, sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,
sisi kepribadian dan jati dirinya (Nurgiyantoro, 2007: 181-183).
4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai
akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh statis
memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang
sejak awal sampai akhir. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita
yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan
dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan
(Nurgiyantoro, 2007: 188).
5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi
cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang
hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir atau
dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah yang
sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.
Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat
dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, tafsiran,
pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Tanggapan itu
mungkin bernada negatif seperti terlihat dalam karya yang bersifat
menyindir, mengkritik, bahkan mungkin mengencam, karikatural
atau setengah karikatural. Namun, sebaliknya iamungkin juga
bernada positif seperti yang terasa dalam nada memuji-muji
(Nurgiyantoro, 2007: 191).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (pelaku cerita).
d. Latar atau setting
Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2007: 216).
Latar adalah segala keterangan, petunjuk,atau pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam
suatu karya sastra (Sudjiman dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005:
Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar (setting) adalah
lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Nurgiyantoro (2007: 227) mengemukakan bahwa unsur latar
dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan
1) Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
2) Latar waktu, berhubungan dengan masalah ‟kapan‟ terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar itu terbagi
menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
e. Sudut pandang
Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa sudut pandang
adalah posisi tokoh dalan cerita.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 248), sudut
pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca.
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan
dan ceritanya (Nurgiyantoro, 2007: 248).
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pandang
mengemukakan gagasan dan ceritanya.
merupakan
cara
pandang
pengarang
dalam